Selasa, 30 Maret 2010

Bukan Sembarang Ayah


Penulis : Hifizah Nur

Tidak ada yang meragukan pentingnya peran ibu dalam pendidikan anak-anaknya, kasih sayang dan perhatian dari seorang Ibu mempunyai pengaruh yang besar pada kepribadian anak. Perhatian dan kasih sayang tersebut akan menimbulkan perasaan diterima dalam diri anak-anak dan membangkitkan rasa percaya diri di masa-masa pertumbuhan mereka.

Di lain pihak, bila kita membicarakan peran ayah dalam pendidikan seorang anak, timbul pendapat yang berbeda-beda dalam perspektif masyarakat kita, khususnya masyarakat muslim. Ada yang berpendapat bahwa pengasuhan dan pendidikan anak adalah peran utama seorang ibu, sementara ayah cukup memenuhi kebutuhan materi sang anak saja, dan menyibukkan diri dengan dunia kerja. Ada juga yang cukup menyisihkan hari-hari liburnya untuk keluarga secara umum, meskipun tidak khusus menyediakan waktu untuk anak. Nah, sekarang, bagaimana pandangan Islam tentang peran ayah dalam pengasuhan anak ini? Dan bagaimana hasil-hasil penelitian mutakhir tentang bagaimana seharusnya peran seorang ayah dalam pendidikan anak?

Dalam Islam, peran mendidik anak bukanlah mutlak kewajiban seorang ibu, tetapi justru dalam Al-Qur’an banyak kisah-kisah yang menceritakan besarnya peran ayah dalam pendidikan anak. Salah satu contoh yang paling jelas adalah kisah Luqman yang sedang memberikan nasihat kepada anak-anaknya di surat Luqman ayat 13 dan seterusnya. Begitu juga kita bisa melihat sejarah nabi-nabi dan Rasul yang kental dengan kuatnya peran ayah dalam pendidikan mereka, seperti kisah nabi Sulaiman yang dididik oleh ayahnya, nabi Daud, khusus untuk menggantikan posisinya sebagai raja, atau Nabi Yusuf yang mendapatkan curahan kasih sayang dari Nabi Ya’kub sehingga sampai membuat iri saudara-saudaranya yang lain. Juga Rasulullah sendiri, yang meskipun ditinggal oleh ayahnya sejak dalam kandungan, tapi peran sang ayah ini tergantikan oleh kakek dan pamannya yang mengasuhnya di waktu beliau kecil dan sedikit banyak menyuburkan sifat-sifat kepemimpinan dan bakat dagang beliau setelah dewasa. Tentu saja semua hal ini tidak terlepas dari tarbiyah Rabbaniyyah (pendidikan langsung dari Allah) mengingat tugas-tugas mereka sebagai Nabi dan Rasul, namun dari kisah-kisah Nabi dan Rasul tersebut terlihat jelas peranan ayah dalam pendidikan putera-puteranya.

Di kalangan tokoh gerakan Islam, terdapat sosok Hasan Al-Banna yang menceritakan peran ayahnya dalam mendorong pengembangan potensi beliau (di antara pengaruh guru-gurunya yang lain) sehingga beliau bisa mendirikan gerakan Islam terbesar di abad ini. Seorang tokoh pergerakan Islam Indonesia, Buya Hamka, bahkan memiliki kenangan tersendiri tentang ayahnya, yang sekaligus juga gurunya, sampai-sampai beliau menuliskan buku khusus, yang berjudul “Ayahku : Riwayat Hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera”.

Uniknya, dari semua kisah-kisah dalam Al-Qur’an, tidak ada satu pun yang khusus menyebutkan pengaruh peran ibu dalam kehidupannya secara detil melalui dialog-dialog antara ayah dan anak seperti pada kisah-kisah di atas, hatta pada nabi yang sejak kecil hanya diasuh oleh ibunya, seperti Nabi Isa dan Nabi Ismail. Begitu juga catatan tokoh-tokoh Islam terkemuka di atas, tidak terungkap peran ibu dalam mempengaruhi kepribadian mereka. Setahu penulis, hanya hadits-hadits Rasulullah saja yang menegaskan pentingnya peran wanita dalam pendidikan anak-anaknya.

Hal ini dapat menunjukkan besarnya pengaruh peran ayah dalam perkembangan anak, bisa juga untuk menunjukkan bahwa dalam Islam, tidak ada batasan yang tegas antara peran ibu dan peran ayah dalam pendidikan anak, wallahu a’lam. Hal ini menarik untuk dikaji dan diteliti oleh para ahli agama dan psikologi abad ini.

Dalam penelitian-penelitian terakhir, membuktikan pentingnya peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya. John Gottman dan Joan De Claire dalam buku “Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional” mengungkapkan beberapa hasil penelitian tentang pentingnya peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya, khususnya dalam perkembangan emosional sang anak.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa keterlibatan ayah dalam kehidupan perkembangan anak laki-laki menghasilkan kesuksesan dalam persahabatan dan prestasi akademis anak, sedangkan bagi anak perempuan, membuat anak cenderung tidak longgar dalam aktivitas seksual dan lebih bisa membangun hubungan yang sehat ketika dewasa.

Perbedaan cara pengasuhan ayah dan ibu saat kecil juga menimbulkan efek yang berbeda pada anak-anak dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Anak di usia lima bulan yang mengalami hubungan positif dengan ayah, membuat ia lebih nyaman dan lebih sedikit menangis ketika berada di antara orang dewasa yang asing baginya, dibanding anak yang tidak memiliki hubungan positif dengan sang ayah. Dalam buku itu juga disebutkan, gaya pengasuhan ayah yang cenderung lebih pada permainan fisik seperti mengayun-ayun, mengangkat, dan menggelitik menghasilkan roller coaster emosi yang menolong anak mempelajari emosi-emosi takut dan senang serta memperhatikan reaksi sang ayah ketika ia mengungkapkan perasaannya melalui jeritan dan tawanya. Anak juga belajar bagaimana menenangkan kembali emosinya di saat permainan tersebut selesai. Selain itu juga terungkap, anak-anak yang memiliki hubungan positif dan menyenangkan dengan sang ayah cenderung lebih populer dibandingkan anak-anak yang tidak memiliki hubungan tersebut.

Dari sumber-sumber di atas, jelaslah pentingnya peran ayah dalam pendidikan anak. Sayangnya, saat ini, hanya sedikit para ayah yang mau dan bersedia menyediakan waktunya khusus untuk pendidikan anak, terutama bagi para mahasiswa dan pekerja yang tinggal di Jepang, mungkin bisa dihitung berapa banyak waktu yang tersisa untuk pendidikan anak-anaknya. Kebanyakan peran tersebut berada di tangan para ibu yang punya lebih banyak waktu untuk berada di rumah dibandingkan dengan sang ayah.

Berikut ini ada beberapa saran bagi para ayah yang ingin terlibat dalam pendidikan anak-anaknya, yaitu :

1. Bagi yang belum beristeri, peran utamanya adalah mencarikan calon ibu yang shalihah sebagai madrasah pertama untuk pendidikan anak-anaknya. Sedangkan bagi yang sudah menjalani bahtera rumah tangga, perannya tentu menjadikan sang Isteri lebih shalihah dari waktu ke waktu agar mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

2. Terlibat dalam perawatan anak sejak masa kehamilan. Hal ini penting untuk mengenal lebih dalam karakter dan kebiasaan yang dibawa oleh anak-anak sejak dini.

3. Belajar mengelola emosi untuk menghadapi tingkah laku anak. Seringkali sang ayah kesulitan menghadapi tingkah laku yang tidak terduga dari anak, misalnya suka berganti-ganti keinginan dalam satu waktu, atau tidak sabar ketika menginginkan sesuatu. Untuk kondisi seperti ini dibutuhkan pengelolaan emosi yang baik agar anak-anak tetap merasa nyaman berada bersama sang ayah.

4. Menyediakan waktu yang cukup untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pribadi setiap anak. Setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda, dan untuk menguatkan hubungan antara ayah dengan anak, diperlukan waktu khusus untuk memenuhi kebutuhan setiap anak.

5. Banyak beramal shalih yang bisa dijadikan contoh oleh anak dan bisa menjadi jaminan memperoleh syurga bagi ayah, ibu, serta seluruh keturunannya.

Tentu saja tantangan terberat bagi ayah yang ingin terlibat dalam pendidikan anak-anaknya adalah bagaimana mempertahankan motivasi tersebut agar bisa tetap terlibat terus menerus dalam pendidikan anak-anak sampai mereka dewasa. Dan hal ini tidak boleh dikalahkan oleh kesibukan bekerja atau aktivitas lain, baik di dalam rumah maupun di luar rumah.

Semoga tulisan ini bisa menjadi pemicu bagi para ayah untuk lebih terlibat langsung dalam pendidikan anak-anaknya.

Peran Ayah


Ayah Penentu Kualitas Anak
Ayah merupakan model bagi anak-anaknya. Meniru perilaku baik ayah, itu yang dimaui. Namun hati-hati si kecil bisa pula meng-copy perilaku sebaliknya. Tak sedikit ayah menyadari apa yang mereka lakukan tidak ingin ditiru anak. Para ayah juga tidak yakin apa yang seharusnya mereka lakukan. Misalnya saja, sepanjang hari Minggu ayah hanya bermain games di komputer, bermalas-malasan dan tak peduli kran kamar mandi bocor.

Sikap Ayah Direkam Anak
Ayah tahu ini tidak baik dan tentu saja, ayah tak ingin anak-anaknya kelak juga berperilaku demikian. Tetapi, apa tidak boleh bermalas-malasan di hari Minggu? Apa pun jenis kelamin anak, ayah merupakan model. Sikap ayah terhadap rumah, keluarga dan orang lain, terekam dengan baik dalam memori anak. Dibanding anak perempuan, anak laki-laki lebih senang meng-copy perilaku ayah. Ayah yang bermalas-malasan memberi jejak pada anak laki-laki untuk juga bersikap demikian. Pada anak perempuan, akan muncul pemahaman negatif tentang laki-laki. Dia akan berkesimpulan, memang begitulah sifat laki-laki!

Mulailah Jadi Ayah Oke
Menjadi ayah merupakan proses panjang, yang diawali sejak masa kanak-kanak. Ayah yang santun, yang menghargai istri dan anak-anak, yang peduli urusan rumah, yang sadar perilakunya menjadi teladan bagi anak, tidak terbentuk begitu saja ketika ia sudah jadi ayah. Benih perilaku ini sudah ada dalam dirinya sejak kecil. Tapi, bukan berarti, tak ada harapan bagi para ayah yang ingin menjadi ayah yang lebih baik. Ada cara yang bisa Anda jalankan. Syaratnya, Anda tulus melakukannya.

a. Perlakukan ibunya anak-anak dengan baik : Menjaga keutuhan perkawinan, mendengarkan pendapat istri dan menanggapi kebutuhannya merupakan manifestasi dari perlakuan baik terhadap ibunya anak-anak. Anak mengamati dan kemudian membentuk perilaku dan pola pikir tentang menghargai pasangan.

b. Peka kondisi rumah : Perhatikan hal-hal kecil di rumah. Misalnya, jangan cuek bila lampu taman dalam beberapa hari ini kedip-kedip. Tak perlu menunggu sampai istri dan anak-anak mengingatkan, "Yah..., lampu taman perlu diganti, tuh. Udah dua hari kedip-kedip." Eh, sudah diingatkan masih juga Anda cuek. Jelek sekali ayah yang demikian!

c. Luangkan waktu bersama anak : Cara ayah menggunakan waktu luangnya memberi pemahaman pada anak tentang hal penting dalam hidup ayah. Bila ayah menggunakan waktu luangnya bersama anak, si kecil paham ia penting dalam kehidupan ayah. Bila ayah asyik bermain sendiri, anak menafsirkan ayah mementingkan dirinya sendiri.

d. Bicara pada anak : Biasanya ayah hanya mau bicara pada anak bila anak melakukan kesalahan. Mulailah ngobrol dengan anak sejak masih kecil. Dengarkan ide serta masalahnya.

e. Jadilah guru bagi anak : Ajarkan anak-anak hal baik dan buruk. Dengan demikian, mereka akan membuat keputusan yang baik untuk dirinya.

f. Disiplinkan anak dengan cinta : Anak butuh bimbingan dan teladan, bukan 'cuma' hukuman. Tunjukkan tentang dampaknya bila anak tidak disiplin, tetapi tidak dengan menghukumnya.

g. Sediakan waktu untuk makan bersama : Makan malam bersama, misalnya, dapat Anda jadikan kesempatan untuk mendengarkan hal-hal yang dilakukan anak sepanjang hari.

h. Tunjukkan perasaan pada anak : Anak-anak butuh rasa aman dengan cara mengetahui bahwa mereka dibutuhkan dan dicintai ayahnya. Mereka juga butuh dipeluk ayah. Tunjukkan perasaan Anda agar anak-anak yakin Anda mencintainya.

Selasa, 16 Maret 2010

Delapan kebohongan ibu


Delapan Kebohongan Seorang Ibu Dalam Hidupnya Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu seringmemberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :

"Makanlah nak, aku tidak lapar" --------- KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan anaknya.

Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disampingku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata:
"Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan" --------- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA

Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku berkata :"Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.

" Ibu tersenyum dan berkata :"Cepatlah tidur nak, aku tidak capek" --------- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergiujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yangtegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku.Teh yang begitu kental tidak
dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental.Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata :

"Minumlah nak, aku tidak haus!" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harusmembiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpapenderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihatkehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untukmenikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata:

"Saya tidak butuh cinta" --------- KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah danbekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untukmemenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu,tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirimbalik uang tersebut. Ibu berkata :

"Saya punya duit" --------- KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM

Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudianmemperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkatsebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu.Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku

"Aku tidak terbiasa" --------- KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkenapenyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatansangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebardi wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya.Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambilberlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisiseperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata :

"jangan menangis anakku,Aku tidak kesakitan" --------- KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.

---ooOOOoo---

Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : " Terima kasih ibu, dan terimakasih ayah ! " Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untukberbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita? Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi..

Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu kita, lakukanlah ang terbaik. Jangan sampai ada kata "MENYESAL" dikemudian hari.

Sumber :maestromuda.org

Minggu, 14 Maret 2010

Surat An-Nisa`, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita


Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?

Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam 'alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

Dalam hadits shahih disebutkan:

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

2. Dijaganya hak perempuan yatim.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu 'anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ayat yang lain:

وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufik.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu 'anha.

2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=617

Nasihat (2) Ibu Bijak Untuk Pasutri

Wahai saudaraku, para istri

Setiap kesalahan seorang istri atau mengikuti hawa nafsu atau terlalu cemburu atay perasaan was-was berasal dari syaithan. semua itu bersumber dari lemahnya iman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala seningga rumah tangga sang suami berubah menjadi berantakan bagaikan neraka dan semua pihak menyesali pernikahan tersebut.

Betapa indahnya bila anda meluruskan hati, akhlak, dan tabiat ketika bergaul bersama suami dan kerabat suami anda. Betapa indahnya bila anda selalu menggunakan akal sehat dan kesabaran dalam setiap menghadapi urusan rumah tangga.

Betapa mulianya ketika seorang istri mampu menjadi pendamping setia bagi sang suami dan betapa agung kedudukannya dihati sang suami bahkan ia mampu memikat perasaan sang suami ketika ia berkata kepadanya "Aku mendengar dan menaati."

Semoga saudariku muslimah mendapat taufik dan hidayah dengan etika Islam, mau menyempurnakan akal pikiran dengan ilmu dan ma'rifah dan menyembuhkan hatinya dengan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga kehidupan penuh dengan suasana bahagia dan hidup bersama sang suami dengan penuh ketenangan dan ketentraman serta kegembiraan.

Wahai para istri, tunaikanlah kewajibanmu terhadap suamimu niscaya engkau akan mendapat kasih sayang dan cintanya.

Nasihat ini saya sampaikan kepada saudara-saudara seiman baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan keikhlasan kepada saya hanya untuk mencari wajah allah Subhanahu wa Ta'ala dan semoga Allah memberikan pula rahmatNya kepada kita semua yang senantiasa berusaha untuk meniti jalanNya yang lurus sehingga kita termasuk golongan yang selamat baik dalam rumah tangga, keluarga, agama, dunia, maupun akhirat kita. (Ummu Ahmad Rifqi)

Maraji'
- Minhajul Muslimin, Abu bakar Jaabir Al Jazairi
- Fiqhuz Zawaj fi Dhau'il Kitab was Sunnah, Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan

[Disalin dari majalah Nabila Edisi09/Tahun1/februari 2005]

Nasihat (1) Ibu Bijak Untuk Pasutri


Wahai saudaraku, para suami

Sesungguhnya anda sebagai seorang suami memegang kendali pernikahan dan perjanjian yang berat, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman

"Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat." [An Nisa': 21]

Anda telah memegang tanggung jawab, amanat dan beban rumah tangga sementara hubungan pernikahn merupakan kemuliaan bagi laki-laki dan perempuan maka secara fitrah dan naluri masing-masing memiliki tugas hidup agar kehidupan rumah tangga berjalan normal dan lurus sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka." [An Nisa': 34]

Jadikan kendali wanita tetap ditanganmu, dan jangan bersikap lemah serta tidak berwibawa sehingga wanita menghinakanmu, memperbudakmu dan meremehkanmu amka kehidupan rumah tanggamu bagaikan neraka. Janganlah anda menghinanya dan mendzaliminya karena sikap semena-mena terhadap orang yang lemah menunjukkan kelemahan pribadi anda.

Janganlah menganggapnya seperti barang tak berharga dan terimalah kebaikan yang telah diberikan kepadamu dengan senang hati dan bersabarlah atas barbagai kekurangannya serta jangan berangan-angan kesempurnaan darinya karena dia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari tulang rusuk yang bengkok sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam

"Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk yang tidak akan bisa lurus bersamamu diatas satu jalan, jika kamu menikmatinya maka kamu menikmatinya dalam kondisi bengkok, namun jika kamu ingin meluruskannya maka boleh jadi patah dan patahnya adalah talak." [HR Bukhori-Muslim]

Inilah wasiat Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam bagimu. Jabir telah meriwayatkan ketika Haji Wada' bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam telah bersabda,

"Bertakwalah kepada Allah dalam urusan perempuan, karena kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan kemaluannya dengan kalimat allah. Maka kamu berhak atasnya untuk tidak memasukkan ke rumahmu orang yang kamu benci dan bila ia melakukan itu maka pukullah dengan pukulan tanpa melukainya. dia mempunyai hak atas kalian dalam nafkah dan pakaian dengan cara yang ma'ruf. [HR Muslim]

Dari abu Hurairah Radhiallahu'anhu berkata bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam bersabda,

"Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya dan sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik kepada istrinya. [HR Ahmad dan Tirmidzi dan beliau berkata bahwa hadist ini adalah hasan shahih]

Pada kesempatan lain beliau Shalallahu'alaihi wa Sallam bersabda,

" Segala sesuatu permainan yang dilakukan oleh seorang muslim dianggap sia-sia kecuali bermain dengan panah, meatih kuda dan bercanda dengan istrinya maka semua itu termasuk dri kebenaran. [HR Ibnu Majah dan Tirmidzi dengan sanad hasan]

(Ummu Ahmad Rifqi)
[Disalin dari majalah Nabila Edisi09/Tahun1/Februari2005]

Keteladanan Seorang Ibu


Betapa ketegaran dan keberaniannya patut diacungi jempol walau usianya masih muda tatkala dipaksa agar buka rahasia.

Ketika masih kecil seperti yang dijelaskan dalam Sirah Ibnu Hisyam I/487, ia telah menghadapi gangguan dari musuh Allah subhanahu wa Ta'ala. Abu Jahal datang kepadanya untuk memaksa agar memberitahukan dimana tempat persembunyian ayahnya. Akan tetapi beliau tetap menjaga tanggung jawab karena satu kata saja yang keluar dari mulutnya bisa menyebabkan bahaya besar, maka beliau hanya diam dan tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya selain "Aku tidak tahu." Walau akhirnya ia ditampar sangat keras oleh Abu Jahal hingga jatuh anting-antingnya.

Ketika Sang ayah berhjrah seperti dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dari Ibnu Hisyam dalam Siyaru A'lam an Nubala' II/288 dengan membawa seluruh hartanya datang Abu Quhafah, kakek beliau yang telah hilang penglihatannya dengan berkata, 'Sesungguhnya ayahmu itu hendak mencelakakan kalian dengan membawa seluruh harta dan jiwa' maka tiadalah yang diperbuat oleh seorang gadis yang suci dan pemberani tersebut melainkan berkata 'Jangan begitu...beliau telah meninggalkan bagi kita harta yang baik dan banyak.'

Kemudian ia mengambil batu-batu dan beliau letakkan di lubang dinding dengan ditutupi kain dan beliau pegang tangan kakeknya lalu beliau sentuhkan tangan kakeknya pada kain tersebut sambil berkata 'inilah yang ayah tinggalkan buat kita.' Abu Quhafah berkata 'Jika dia telah meninggalkan bagi kalian barang-barang ini ya sudah.' dengan hal itu ia telah meredam kemarahan sang kakek, menenangkan pikiran dan menentramkan hatinya.

Ia juga telah memberikan contoh hidup dan teladan yang baik dalam hal bersabar menghadi kesulitan hidup dan serba kekurangan, senantiasa berusaha taat kepada suami dan menjaga keridhaan suami.

Seperti diriwayatkan oleh Al-Bukhori dalam an Nikah VI/156 dan Muslim dalam as Salam No. 2182, 'Zubeir menikahiku sedangkan ia tidak memiliki apa-apa kecuali kudanya. Akulah yang mengurus dan memberinya makan, aku pula yang mengairi pohon kurma, mencari air, dan mengadon roti. Aku juga yang mengusung kurma yang dipotong oleh Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam dari tanahnya Zubeir. Sampai akhirnya, Abu Bakar ayah beliau mengirim pembantu sehingga saya merasa cukup untuk mengurusi kuda, seakan-akan ayah telah membebaskanku.'

Buah kesabaran itu adalah mendapatkan nikmat yang banyak, akan tetapi Ummu Abdillah al Quraisyiyah at Tamiyah yang akrab dipanggil Asma' binti Abu Bakar tidak sombong akan kekayaannya. bahkan beliau adalah seorang dermawan dan pemurah serta tidak suka menyimpan sesuatu untuk besok. Apabila sakit, beliau menunggu hingga sembuh kemudian beliau memerdekakan semua budak yang ia miliki serta berkata kepada anak-anaknya, 'Berinfaq dan bersedekahlah dan jangan kalian menunggu banyaknya harta.'

Ketika menjelang usia 100 tahun, Abdullah putra beliau meminta pertimbangannya tatkala Hajjaj mengepung Mekkah 'Wahai ibu sungguh orang-orang telah menghinaku bahkan keluargaku dan anakku, sehingga tiada lagi yang bersamaku melainkan sedikit, mereka tidak sanggup melawan sedangkan ada kaum yang menawariku dengan dunia, bagaimana pendapat ibu?'

Adapun engkau wahai anakku, kata Asma', jika mengetahui bahwa engkau diatas kebenaran dan mengajak kepada kebenaran, maka kerjakanlah. Sungguh telah terbunuh sahabat-sahabatmu sedangkan tidak mungkin engkau dipermainkan oleh anak-anak Bani Umayah. Jika engkau hanya menginginkan dunia, maka seburuk-buruk hamba adalah engkau. Berarti engkau telah membinasakan dirimu sendiri dan orang yang berperang bersamamu.

Tatkala Asma' menjumpai Abdullah untuk mengucapkan perpisahan dan merangkulnya, beliau memegang baju besi yang dikenakan anaknya dan berkata 'Apa ini wahai Abdullah, apa yang kamu kehendaki? Maka ditanggalkanlah baju besi tersebut dan keluarlah Abdullah untuk beperang dan beliau senantiasa teguh dan berani dalam menyerang musuh hingga baliau terbunuh. Hajjaj memerintahkn pasukannya agar mayat beliau disalib. Kemudian menurut suatu riwayat, Hajjaj mendatangi Asma' dan berkata 'Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah aku perbuat terhadap anakmu wahai Asma'?' Asma' menjawab dengan tenang 'Engkau telah merusak dunianya, namun ia telah merusak akhiratmu.'

Asma' wafat di Mekkah beberapa hari setelah terbunuhnya putra beliau Abdullah. Inilah keteladanan seorang ibu yang patut menjadi contoh bagi para wanita sekarang. Mendidik anaknya memjadi pemberani membela agama. Wallahu'alam

Wahai Ibu Sertailah Semangatmu dengan Ilmu


Penulis: Ummu Ayyub
Muroja'ah: Ustadz Subhan Lc.

Anak kecil adalah makhluk yang penuh rasa ingin tahu namun sering kali orang tua merasa sulit untuk menjelaskan padanya tentang sesuatu yang tidak bisa dia lihat. Hal ini sering kali membuat orang tua menjadi kebingungan ketika si kecil bertanya "Allah itu dimana dan seperti apa?"

Sebuah majalah berusaha mengupas masalah ini dengan memuat "kreativitas" orang tua untuk menjelaskan hal ini pada anak-anak mereka. Jawaban yang ada antara lain:
"Allah itu ada di langit, tepatnya langit ke tujuh… dst…"
"Allah ada di mana-mana. Allah ada di hati kita, ada di jantung kita,… dst…"
"Allah ada di arsy sana. Tahukah kalian kalau arsy adalah langit ke tujuh?… dst…"

Maha suci Allah dari persangkaan bahwa Dia bercampur dengan makhluk. Allah dekat dengan kita tapi Allah tinggi dan tidak bercampur dengan makhluk. Allah bersemayam di atas Arsy (Arsy bukan langit ke tujuh!!!), tidak bercampur dengan hati manusia, jantung manusia ataupun dengan langit karena semua itu adalah makhluk.

Permasalahan ini telah dijelaskan oleh para ulama. Untuk pembahasan lebih dalam, kita bisa merujuk pada kitab-kitab mereka.

Tidak Sekedar Semangat
Sunguh mulia niatan kita untuk mengenalkan Allah subhanahu wa ta'ala pada anak-anak kita sejak mereka masih kecil. Memang seperti itulah seharusnya sebagai seorang pendidik. Namun demikian tidak cukup dengan sekedar semangat karena jika sekedar semangat, bisa jadi yang kita ajarkan ternyata hanyalah prasangka-prasangka kita, tidak tahu apakah benar atau tidak. Padahal standar kebenaran bukanlah prasangka. Bisa jadi menurut kita benar tetapi tenyat bukan itu kebenaran.

Lalu bagaimana kita tahu benar atau salah? Jawabannya tentu dengan ilmu karena dengan ilmu maka bisa dibedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sunnah dan mana yang bid'ah, mana yang halal dan mana yang haram. Jangan sampai kita menjadi seorang muslim yang salah sangka karena kebodohan kita. Yang benar kita sangka salah, yang salah justru kita sangka benar. Hidayah kita sangka kesesatan dan kesesatan justru kita sangka hidayah.

Tak Cukup Dengan Yang Umum-Umum Saja
Sesunguhnya kebanyakan dari mengetahui namun pengilmuannya secara umum saja. Kita tahu bahwa dosa itu buruk tapi kita tidak tahu apa saja yang termasuk dosa melainkan sekedar menurut persangkaan kita dan anggapan masyarakat. Kita tahu bahwa syirik adalah dosa yang paling besar namun tidak tahu amalan dan keyakinan apa yang termasuk di dalamnya. Kita tahu bahwa Al Quran adalah petunjuk tapi kita tidak tahu perkara apa yang ditunjukkan oleh Al Quran.

Seperti kasus di atas, kita tahu bahwa kita harus mengenalkan Allah pada anak-anak kita tapi kita tidak tahu terhadap apa yang harus kita kenalkan. Maka beginilah hasilnya jika tanpa ilmu, yang kita ajarkan hanyalah bualan-bualan kita dan prasangka-prasangka kita. Bahkan tentang Allah subhanahu wa ta'ala kita berani ceplas-ceplos berbicara tanpa pijakan. Maka pengetahuan secara umum saja tidak cukup, bahkan nyaris tidak mendatangkan manfaat apa-apa.

Berpayah-Payah Tapi Tak Sampai Tujuan
Sungguh merugi keadaan orang yang bersemangat melakukan kebaikan tapi tidak berbekal dengan ilmu. Seorang ibu hendak mengajarkan pada anaknya tentang kebaikan tapi dia tidak tahu apa itu kebaikan. Dia berpayah-payah menanamkan kebiasaan berdoa sebelum makan. Bahkan dengan telaten dia menuntun dan menemani anaknya berdoa setiap sebelum makan. Akhirnya yang dia ajarkan berhasil. Setiap hendak makan otomatis anaknya berdoa "Allahumma baariklanaa fii maa rozaktanaa wa qinaa 'adzabannaar". Si ibu merasa senang karena merasa telah berhasil, padahal jika memang benar Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam yang hendak dia contoh maka dia telah tertipu. Yang Rasulullah ajarkan untuk dibaca sebelum makan adalah "bismillah". Lalu siapa yang hendak dicontoh? Rasulullah atau yang lain?

Berbekal Dengan Ilmu
Tidak terlambat! Maka mulai dari sekarang mari kita bekali diri kita dengan ilmu. Jangan mau menjadi seorang muslim yang salah sangka! Merasa telah berbuat sebaik-baiknya di dunia tapi ternyata amalan kita sia-sia.

Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya: "Katakanlah, apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al Kahfi: 103-104)

Alhamdulillah sekarang sangat mudah untuk mendapatkan ilmu bagi orang-orang yang mau mencari. Majelis ilmu ada di mana-mana, buku-buku telah banyak yang diterjemahkan, situs-situs Islam sangat mudah untuk diakses. Lalu apa lagi yang menghalangi kita? Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang terhalangi dari ilmu karena kemalasan atau karena kesombongan.

Wahai para ibu!Wahai para calon ibu! Sungguh mulia niatan kita untuk peduli dengan urusan dien anak-anak kita di saat banyak yang acuh terhadapnya dan merasa cukup dengan dunia. Namun demikian tidak cukup dengan sekedar semangat. Penuhi kantung-kantung perbekalan dengan ilmu! Apa yang mau kita ajarkan pada anak-anak kita kalau kita tidak punya apa-apa? Wallahu a'lam.

Antara Hak Anak dan Kewajiban Ibu (5/5)


2.10 Menanamkan Sifat Sabar
Allah berfirman, yang artinya: Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab. (QS Az Zumar : 10)

Dan juga firmanNya yang artinya: Hai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al Baqarah: 153)

Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan dia berkata, Rasulullah bersabda, "Sungguh menakjubkan urusan orang yang briman, sesunguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Dan hal itu tidak terjadi, kecuali bagi orang yang beriman. Apabila dia diberi kesenangan, maka dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan apabila dia ditimpa kesusahan, maka dia bersabar, dan itupun baik baginya." 1

2.11 Menyadarkan Kepada Anak Tentang Berharganya Waktu
Sesungguhnya menjaga waktu akan menanamkan sifat menepati janji pada waktunya. Demikian pula harus diperhatikan, agar menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya. Oleh karena itu Allah menganjurkan kita untuk menyusun jadwal kegiatan dan mengerjakannya pada waktu yang telah direncanakan. Dan waktu sangat terbatas.

Allah berfirman, yang artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS An Nisaa :103)

Ibnu Mas'ud pernah bertanya kepada Nabi, "Amal apa yang paling dicintai oleh Allah?" Beliau menjawab, 'Shalat pada awal waktunya....' 2

Allah mengkhususkan masalah shalat, karena shalat dilakukan berulang lima kali sehari semalam. Apabila seseorang menjaga shalatnya dan melaksanakannya pada awal waktu, maka hal dapat menanamkan kedisiplinan dan pemanfaatan waktu. Dan agar menjadikan waktu sehat dan luangnya sebagai kesempatan untuk melakukan kebaikan, karena umur itu terbatas.

Ibnu Abbas berkata, bahwa Nabi bersabda, Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengannya, yaitu kesehatan dan waktu luang. 3

Para salafush shalih dan orang-orang yang meniti jalan mereka adalah manusia yang paling ketat dan paling bersemangat dalam menjaga waktu, yakni dengan memanfaatkan dan memenuhinya dengan berbagai kebaikan dan hal-hal bermanfaat.

2.12 Menanamkan Sifat Pemberani
Allah berfirman, yang artinya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (QS At Taubah: 111)

Dan Abu Aufa Nabi bersabda, "Dan ketahuilah bahwa surga di bahah naungan pedang " 4

Ibnu Hajar berkata, Al Qurtubi berkata, "Sabda Rasulullah di atas termasuk ucapan yang indah, singkat tapi padat. Memiliki gaya bahasa nan indah, ringkas dan lafazhnya bagus. (Ucapan) ini memberi faidah anjuran untuk berjihad, dan mengabarkan pahalanya, serta anjuran menghadapi musuh yang menggunakan pedang, serta bersatu ketika perang, sehingga pedang menaungi orang-orang yang berperang " 5

Ibnul Jauzi berkata, "Maksudnya adalah surga dapat diraih dengan jihad." 6

Pada periode awal Islam, para ibu menjadi penolong dan pendorong anak-anaknya agar memiliki sifat pemberani. Dalam sejarah terdapat contoh-contoh tentang hal itu. Sebutlah Abdullah bin Zubair bin Awwam. Ketika dia keluar untuk memerangi Hajjaj bin Yusuf, bersamanya tidak ada orang, kecuali sedikit orang. la mengadu kepada ibunya Asma tentang ketidak pedulian manusia dan sikap diam mereka terhadap Hajjaj sampai orang yang paling dekat denganya sekalipun.

Abdullah menanyakan pendapat ibunya. Lalu apakah yang dikatakan oleh wanita yang berjiwa besar ini? Apakah ia berkata kepada putranya, "Tinggalkanlah urusan ini" karena ia khawatir terhadap keselamatan putranya yang merupakan darah dagingnya? Tidak, demi Allah. Bahkan ia memompakan keberanian dan kesabaran sampal ia mati syahid. Dengan keberanian dan jihad semacam inilah akan tegak berdiri Daulah Islamiyah yang diharapkan dengan izin Allah.

2.13 Bersikap Adil Diantara Anak-Anak
Dari Nu'man bin Basyir, Rasulullah bersabda, Bersikap adillah diantara anak-anakmu, adillah diantara anak-anakmu, adillah diantara anak-anakmu 7

Pada bagian akhir dari pembahasan ini, ingin aku sitirkan firman Allah melalui lisan Luqman Al Hakim kepada anaknya sebagai nasihat atas anak: "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengejakan kebaikan dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa-apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesunguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS Lugman:7-19)

Saudariku muslimah, sesungguhnya anak-anak kita adalah amanah yang dititipkan Allah kepada kita. Allah akan menanyakan, apakah kita akan menjaganya atau menyia-nyiakannya. Maka wajib atas kita untuk menjaga amanah ini. Dengan keyakinan, kita mendidik generasi muslim, kita persiapkan mereka agar menjadi generasi kuat untuk menghadapi orang-orang yang menyimpangkan Al Kitab dan Assunnah. Wallahu walyyut taufiq.

(Salamah Ummu Ismail)
Dikutip dari majalah As-Sunnah 11/VII/2004 hal 60 - 61

Catatan Kaki
1 HR. Muslim, 18/125; Nawawi.
2 HR. Muslim, 18/125; Nawawi.
3 HR. Bukhari, 527; Muslim, 2/73; Nawawi; Tirmidzi, 173, dan dia berkata, "Hasan shahih."; Nasa'i, 1/292; Ad Darimi, 1/278; Ahmad, 1/409, 410, 439; Humaidi, 103; Thabrani dalam Ash Shaghir, 446; Al Baihaqi dalam Al I'tiqad, hlm. 42.
4 HR. Bukhari, 2818, 2833, 3966; Muslim, 1742; Abu Dawud, 2631; Tirmidzi, 1659.
5 Fathul Bari, 6/33.
6 Fathul Bari, 6/33.
7 HR. Abu Dawud, 93544; Nasa'i, 6/262; Ahmad, 4/275, 278, 375.

Antara Hak Anak dan Kewajiban Ibu (4/5)


2.8 Mengajarkan Kepada Anak Untuk Meminta Izin
Ini termasuk adab mulia yang penting diajarkan dan dibiasakan oleh seorang ibu muslimah kepada anak-anaknya, khususnya jika anak hampir baligh.

Islam telah memberikan batasan dan rambu-rambu tentang hal ini dengan jelas. Allah berfirman, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat shubuh, ketika kamu sedang menanggalkan pakaian (luarmu) di tengah hari dan sesudah shalat isya'. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tdak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka minta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An Nur: 58,59).

Ayat-ayat tersebut menjelaskan waktu-waktu yang tidak diperbolehkan bagi anak-anak yang belum baligh untuk masuk, kecuali setelah mendapat izin. Adapun selain tiga waktu tersebut, maka tidak berdosa atas mereka masuk tanpa izin. Imam Ibnu Katsir menjelaskan yang menjadi sebab perlunya meminta izin pada tiga waktu tersebut. Dia berkata, "Allah Ta'ala memerintahkan orang-orang beriman, agar para budak yang mereka miliki dan anak-anak mereka yang belum baligh untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga waktu, yaitu:
Sebelum shalat fajar karena pada waktu itu manusia sedang tidur di tempat tidurnya.
Ketika menanggalkan pakaian pada siang hari, yaitu pada waktu qailulah (tidur siang), karena manusia seringkali sedang menanggalkan pakaiannya bersama istrinya pada waktu itu.
Setelah shalat Isya karena itu saat waktu tidur, maka diperintahkan kepada para budak dan anak-anak (yang belum baligh) untuk tidak masuk kepada ahli bait tanpa izin, karena dikhawatirkan ketika itu seorang suami sedang bersama istrinya atau sedang melakukan hal Iainnya.

Oleh karena itu Allah berfirman, yang artinya:
(Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu.

Maksudnya, apabila mereka masuk selain dari tiga waktu itu tanpa izin, maka tidak apa-apa atas kalian dan tidak pula atas mereka apabila mereka melihat sesuatu selain dari tiga waktu itu, karena telah diizinkan bagi mereka masuk tanpa izin, dan karena mereka banyak berinteraksi dengan kalian untuk melayani kalian atau yang lainnya." 1

Adapun bagi anak-anak yang telah baligh, maka mereka harus minta izin setiap waktu apabila ingin masuk. Al Auza'i berkata dari Yahya bin Katsir, "Apabila anak masih berumur empat tahun, maka dia meminta izin kepada kedua orang tuanya dalam tiga waktu. Apabila mereka telah baligh, maka dia harus minta izin setiap waktu." 2

Keharusan minta izin ini tidak hanya ketika akan masuk ke rumah orang lain saja, akan tetapi juga ketika masuk ke rumah yang hanya dihuni oleh ibu atau saudara perempuannya. Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah,"Apakah aku harus mintaizin kepadaibuku?" Dia menjawab, "Jika engkau tidak minta izin kepadanya, engkau akan melihat apa yang engkau benci." 3

Imam Al Bukhari meriwayatkan pula tentang keharusan seorang laki-laki minta izin kepada saudarinya. 'Atha bertanya kepada lbnu Abbas tentang meminta izin kepada saudara perempuan, maka Ibnu Abbas berkata, " Ya," lalu aku ulangi lagi, "Dua saudariku itu berada dalam pemeliharaanku, aku yang menjamin dan menafkahi mereka, apakah aku harus izin?" Beliau menjawab, "Ya. Apakah engkau suka melihat saudarimu sedang telanjang?" Kemudian beliau membaca, Al Qur'an surat An Nur ayat 58.

Kemudian Atha' berkata, "Mereka diperintahkan minta izin kecuali pada tiga waktu itu,". Ibnu Abbas membaca, firman Allah yang artinya: Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. (QS An Nur: 59).

Ibnu Abbas berkata, "Minta izin hukumnya wajib." Ibnu Juraij menambahkan, "Atas setiap manusia." 4

2.9 Menanamkan Kejujuran
Jujur adalah sikap terpuji yang wajib kita tanamkan kepada anak-anak. Allah berfirman, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur). (QS At Taubah :9)

Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak. Demikian pula hadits telah berulang menyitir akhlak terpuji ini.

Dari Ibnu Mas'ud dari Nabi beliau bersabda, Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun kepada surga, dan sesungguhnya seseorang berkata jujur sehingga dia menjadi orang yang jujur. Dan sungguhnya kedustaan menunjukkan kepada kejahatan, sedangkan kejahatan mengantar kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang berkata dusta hingga la tercatat di sisi Allah sebagai pendusta. 5

Berkata jujur adalah kemuliaan bagi anak-anak kita. Dan tidak akan tersealisasi, kecuali dengan berkata jujur dalam segala urusan. Jika seseorang biasa berdusta, dia akan senantiasa dianggap pendusta di hadapan manusia meskipun dia berkata jujur.

(Salamah Ummu Ismail)
Dikutip dari majalah As-Sunnah 11/VII/2004 hal 59 - 60

Catatan Kaki
1 Tafsir Ibnu Katsir, 3/303, 304.
2 Tafsir Ibnu Katsir, 3/303, 304.
3 Al Adabul Mufrad, 1060.
4 Al Adabul Mufrad, 1063.
5 HR. Bukhari, 6094; Muslim, 16/60; Nawawi; Abu Dawud, 4989; Tirmidzi, 1972, dan dia berkata, "Hasan shahih."

Antara Hak Anak dan Kewajiban Ibu (3/5)


2.5 Membuat Anak-Anak Cinta Kepada Sunnah Serta Menyuruh Mereka Menjaganya
Allah berfirman, yang artinya: Barangsiapa mentaati Rasul itu, maka sesunguhnya dia telah mentaati Allah. (QS An Nisa: 80)

Allah berfirman, yang artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS AI Hasyr:7)

Nabi bersabda, dari hadits Irbadh bin Sariyah yang artinya: "Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, mend-gar dan taat, meskipun yang memerintahkan kalian adalah budak dari Habasyah. Karena sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian hidup setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Berpegang teguhlah kalian dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat pentunjuk. Peganglah ia erat-erat, dan gigitlah ta dengan gerahammu." 1

2.6 Menanamkan Kepada Anak Agar Benci Kepada Bid'ah
Agama Islam adalah agama yang sempurna. Allah berfirman, yang artinya: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan a ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS An Nisa :115)

Nabi bersabda, dari hadits Abdullah bin Mas'ud, Setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Jadi setiap bid'ah itu tertolak, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Adapun pembagian bid'ah menjadi dua, yaitu: bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela), maka sebenamya yang dimaksudkan ialah bid'ah (perkara baru) secara bahasa saja, bukan secara syar'iyyah.

2.7 Membuat Anak-Anak Cinta Kepada Ilmu Syar'i dan Bersabar Dalam Meraihnya
Ilmu syar'i merupakan ilmu yang paling mulia. Allah telah memuji ilmu dan ulama lebih dari satu ayat dalam Al Qur'an. Allah berfirman, yang artinya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah ulama. (QS Fathir: 28)

Dan katakanlah: " Ya Rabb, tambahkanlah kepadaku ilmu". (QS Thaha:114)

Dari Zar bin Hubasyi, dia berkata, "Aku mendatangi Sofwan bin 'Assal Al Muradi, lalu dia berkata, "Untuk tujuan apa engkau datang kemari?" Aku menjawab, "Karena mengharapkan ilmu". Dia berkata, "Sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut iImu, karena ridha dengan apa yang mereka cari." 2

Belajar ketika masih kecil lebih baik daripada belajar ketika sudah dewasa, sebagaimana dalam sebuah sya'ir: Belajar sewaktu kecil bagaikan melukis di atas baru.

Pada masa permulaan Islam para ibu memotivasi anaknya untuk menuntut ilmu (syar'i). Bahkan ada yang rela bekerja agar si anak bisa belajar. Lihatlah, bagaimana manusia memuji Sufyan Ats Tsauri 3 karena keluasan ilmu yang dimilikinya.

Al Auza'i berkata tentangnya; "Tidak ada orang yang padanya orang awam berkumpul dengan ridha dan lapang dada, kecuali satu orang di Kufah yaitu Sufyan"

Sufyan tidaklah mencapai apa yang menjadi cita-citanya, kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian pertolongan ibunya yang shalihah.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad dari Waki', dia berkata,
"Ummu Sufyan berkata kepada Sufyan, 'Wahai, anakku. Tuntutlah iImu dan aku akan cukupimu dengan alat pemintaanku'." 4

Alangkah besarnya tokoh-tokoh yang keluar dari madrasah ibu.
Ibu adalah madrasah
Apabila engkau mempersiapkannya
berarti engkau mempersiapkan generasi yang kuat akarnya
Ibu adalah taman
Jika engkua merawatnya
dia akan hidup dengan elok
tumbuh daunnya beraneka rupa
Ibu adalah guru pertamanya para guru
Kemuliaanya terpancar menyebar sepanjang cakrawala


(Salamah Ummu Ismail)
Dikutip dari majalah As-Sunnah 11/VII/2004 hal 58 - 59

Sabtu, 13 Maret 2010

Antara Hak Anak dan Kewajiban Ibu (2/5)


2.2 Mengajari Anak Shalat
Mengajarkan anak-anak shalat yaitu dalam hal-hal yang utamanya, wajib-wajibnya, waktunya, cara berwudhu dan dengan shalat dihadapan mereka. Demikian pula dengan pergi bersama mereka ke masjid, berdasarkan sabda Nabi dan hadits Sabrah, 1; Perintahkanlah anak untuk shalat apabila mereka telah berumur tujuh tahun. Dan jika mereka telah berumur sepuluh tahun (tetapi tidak shalat), maka pukullah mereka. 2

Hendaknya para ibu mengajarkan kepada mereka, bahwa shalat bukan hanya sekedar gerakan atau rutinitas seorang hamba kepada Rabbnya. Akan tetapi, shalat merupakan hubungan yang dalam dan kuat antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Maka peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh, supaya tidak meninggalkan shalat. Berilah mereka ancaman bila meninggalkan perbuatan tersebut.

Suruhlah mereka untuk senantiasa bersegera menunaikan shalat pada awal waktu. Allah di berfirman, yang artinya: Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat serra mengerjakan amal shalih. (QS Maryam: 59-60).

Nabi bersabda, Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi, bahwa tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan sampai mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat Apabila mereka melakukan itu, maka terjagalah dariku darah-darah mereka dan harta-harta mereka, kecuali merupakan hak Islam; dan perhitungan mereka atas Allah. 3

Ibnu Hazm berkata, "Barangsiapa mengakhirkan shalat dan waktunya, maka dia itu hina" 4

2.3 Menanamkan Kecintaan Kepada Allah dan RasuINya, dan Mendahulukan Keduanya
Dari Anas dia berkata, Rasulullah bersabda,"Tidak sempurna imam seseorang diantara kalian sampai aku menjadi orang yang lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia." 5

Dengan menanamkan kecintaan kepada Allah dan RasuINya di hati anak-anak akan mengantarkan mereka menyambut seruan Allah dan RasuINya. Dan ini menjadi motivasi dasar untuk seluruh yang mengikutinya.

2.4 Mengajarkan Al Qur'an dan Menyuruh Anak-Anak Menghafalkan
Ini merupakan masalah besar yang hanya akan didapatkan oleh orang yang secara sungguh-sungguh berusaha menghafal dan mengamalkannya. Hendaklah ibu memulainya dengan menyuruh menghafal surat Al Fatihah dan surat-surat pendek. Demikian pula hendaklah kita menyuruh mereka menghafal at tahiwat untuk shalat.

HadIts-hadits Nabi telah menunjukkan keutamaan itu semua. Diantaranya yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan dari Nabi beliau bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur'an dan mengajarkannya." 6

Para ibu pada masa kejayaan Islam, benar-benar memotivasi anak-anaknya untuk mendapatkan kebaikan, terlebih lagi dari Al Qur'an, sebagaimana mereka mengusahakan kebaikan bagi jiwa anak-anaknya.

(Salamah Ummu Ismail)
Dikutip dari majalah As-Sunnah 11/VII/2004 hal 57 - 58

Antara Hak Anak dan Kewajiban Ibu (1/5)


Anak, sebagai darah daging kedua orang tua, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibunya. Anak mempunyai hak-hak yang merupakan kewajiban orang tuanya, terutama ibunya, untuk menunaikan hak-hak tersebut. Jadi bukan hanya anak yang mempunyai kewajiban atas orang tua, tetapi orang tua pun mempunyai kewajiban atas anak. Secara ringkas kewajiban orang tua atas anaknya adalah sebagai berikut:

1. Menyusui
Wajib atas seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana firman Allah yang artinya: Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS AI Baqarah: 233)

Allah berfirman, yang artinya:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. lbunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkanya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (QS Al Ahqaf 15).

Al 'Allamah Siddiq Hasan Khan berkata,
"Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Maksudnya, adalah jumlah waktu selama itu dihitung dari mulai hamil sampai disapih." 2

2. Mendidiknya
Mendidik anak dengan baik merupakan salah satu sifat seorang ibu muslimah. Dia senantiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlak yang baik, yaitu akhlak Muhammad dan para sahabatnya yang mulia. Mendidik anak bukanlah (sekedar) kemurahan hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban dan fitrah yang diberikan Allah kepada seorang ibu.

Mendidik anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya, sepertI (misalnya) mencucikan pakaiannya atau membersihkan badannya saja. Bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat anak merupakan generasi penerus yang akan menggantikan kita yang diharapkan menjadi generasi tangguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah, ilmu, kemuliaan dan kejayaan.

Berikut beberapa perkara yang wajib diperhatikan oleh ibu dalam mendidik anak-anaknya:

2.1 Menanamkan Aqidah Yang Bersih
Menanamkan aqidah yang bersih, yang bersumber dari Kitab dan Sunnah yang shahih.

Allah berfirman yang artinya:
Maka ketahuilah bahwa sesugguhnya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah. (QS Muhammad: 19)

Rasulullah bersabda, yang artinya:
Dari Abul Abbas Abdullah bln Abbas, dia berkata: Pada suatu hari aku membonceng di belakang Nabi, kemudian beliau berkata, 'Wahai anak, Sesungguhnya aku mengajarimu beberapa kalimat, yaitu: jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau mendapatiNya di hadpanmu. Apablla engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau mohon pertotongan, maka mohonlah pertotongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberimu satu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk memberimu satu bahaya, niscaya mereka tidak akan bisa membahayakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan tinta telah kering." 3

Dan dalam riwayat lain (Beliau berkata),
"Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatiNya di hadapanmu. Perkenalkanlah dirimu kepada Allah ketika kamu senang, niscaya Dia akan mengenalimu saat kesulitan. Ketahuilah, apa apa yang (ditakdirkan) luput darimu, (maka) tidak akan menimpamu. Dan apa-apa yang (ditakdirkan) menimpamu, ia tidak akan luput darimu. Ketahuilah, bahwa pertolongan ada bersama kesabaran, kelapangan ada bersama kesempitan, dan bersama kesusahan ada kemudahan." 4

Seorang anak terlahir di atas fitrah, sebagaimana sabda Rasulullah maka sesuatu yang sedikit saja akan berpengaruh padanya. Dan wanita muslimah adalah orang yang bersegera menanamkan agama yang mudah ini, serta menanamkan kecintaan tehadap agama ini kepada anak-anaknya.

(Salamah Ummu Ismail)
Dikutip dari majalah As-Sunnah 11/VII/2004 hal 57 - 58

Catatan Kaki
1 Diangkat dari buku berjudul Wajibatul Mar'atil Muslimah Ala Dhau'il Kitab Was Sunnah Hlm.103 - 127, karya Ummu 'Amr binti Ibrahim Badawi.
2 Husnul Uswah, hlm. 215.
3 HR. Tirmidzi, dan ia berkata, "Hadits hasan shahih."
4 HR. selain Tirmidzi.

SURAT IBU KEPADA ANAK DURHAKA


Wahai Anakku!
Inilah surat dari ibumu yang lemah, yang ditulis dengan penuh rasa malu setelah lama mengalami keraguan dan kebimbangan. Ibu pegang penanya berkali-kali lantas terhenti, dan ibu letakkan lagi pena itu karena air mata berlinang berkali-kali yang disusul dengan rintihan hati.

Wahai Anakku!
Sesudah perjalanan waktu yang panjang, ibu rasa engkau sudah dewasa dan memiliki akal sempurna maupun jiwa yang matang. Sedangkan ibu punya hak atas dirimu, maka bacalah sepucuk surat ini; dan jika tidak berkenan robek-robeklah sebagaimana engkau telah merobek-robek hati ibu.

Wahai Anakku!
Dua puluh lima tahun yang lalu adalah hari yang begitu membahagiakan hidup ibu. Ketika dokter memberitahu ibu, ibu sedang mengandung. Semua ibu tentu mengetahui makna ungkapan itu, yakni terhimpunnya kebahagiaan dan kegembiraan, serta awal perjuangan seiring dengan adanya berbagai perubahan fisik maupun psikis. Sesudah berita gembira itu ibu peroleh, dengan senang hati, ibu mengandungmu selama sembilan bulan.

Ibu berdiri, tidur, makan dan bernafas dengan susah payah. Namun itu semua tidak menyebabkan surutnya cinta ibu padamu dan kebahagiaan ibu menyambut kehadiranmu. Bahkan rasa cinta dan kerinduan ibu padamu tumbuh subur dan berkembang hari demi hari. Ibu mengandungmu dalam kondisi yang lemah dan bertambah lemah, payah dan bertambah payah. Ibu sangat bahagia meski bobotmu semakin berat, padahal kehamilan itu sangat berat bagi ibu.

Itulah perjuangan yang akan disusul dengan cahaya fajar kebahagiaan setelah berlalunya malam panjang, yang membuat ibu tidak bisa tidur dan kelopak mata ibu tak bisa terpejam. Ibu merasakan derita yang sangat, rasa takut dan cemas yang tak bisa dilukiskan dengan pena dan tak sanggup diungkapkan dengan retorika lisan. Ibu telah berkali-kali melihat kematian dengan mata kepala ibu sendiri, sehingga akhirnya engkau lahir ke dunia ini. Air mata tangismu yang bercampur dengan air mata kegembiraan ibu telah menghapus seluruh derita dan luka yang ibu rasakan.

Wahai Anakku!
Telah berlalu tahun demi tahun dari usiamu, dan dirimu selalu ibu bawa dalam hati ibu. Ibu memandikanmu dengan kedua tangan ibu. Pangkuan ibu sebagai bantalmu. Dada ibu sebagai makananmu. Ibu berjaga semalaman agar engkau bisa tidur. Ibu susuri siang hari dengan keletihan demi kebahagiaanmu. Dambaan ibu tiap hari adalah melihatmu tersenyum. Dan idaman ibu setiap saat adalah engkau meminta sesuatu yang ibu sanggup lakukan untukmu. Itulah puncak kebahagiaan ibu.

Itulah hari-hari dan malam yang ibu lalui sebagai pelayan yang tak pernah menyia-nyiakanmu sedikit pun. Sebagai wanita yang menyusuimu tiada henti, dan sebagai pekerja yang tak pernah putus hingga engkau tumbuh dan menjadi seorang remaja. Dan mulailah nampak tanda-tanda kedewasaanmu. Ketika itu pula, ibu kesana kemari mencarikan calon istri yang kau inginkan. Lalu tibalah saat pernikahanmu. Denyut jantung ibu terasa berhenti dan air mata ibu deras bercucuran karena gembira melihat hidup barumu dan karena sedih berpisah denganmu.

Saat-saat yang begitu berat telah lewat. Namun engkau seolah bukan lagi anak ibu, seperti yang ibu kenal selama ini. Sungguh engkau telah mengabaikan diri ibu dan tidak mempedulikan hak-hak ibu. Hari-hari berlalu dan ibu tidak lagi melihatmu dan tidak pula mendengar suaramu. Engkau masa bodoh kepada ibu yang selama ini menjadi pelayan yang mengurusimu.

Wahai Anakku!
Ibu tidak meminta apa pun selain posisikanlah diri ibu ini seperti kawan-kawanmu yang terdekat denganmu. Jadikanlah ibu sebagai salah satu terminal hidupmu sehari-hari, sehingga ibu dapat melihatmu meskipun sekejap.

Wahai Anakku!
Punggung ibu telah bongkok. Anggota tubuh ibu telah gemetaran. Beragam penyakit telah membuat ibu semakin ringkih. Rasa sakit senantiasa mendera ibu. Ibu sudah susah untuk berdiri maupun duduk, namun hati ibu masih sayang padamu.

Andaikan ada seseorang yang memuliakanmu sehari, tentu engkau akan memuji kebaikannya dan keelokan budinya. Padahal, ibumu ini telah benar-benar berbuat baik kepadamu, namun engkau tak melihatnya dan tak mau membalas kebaikannya. Ibumu telah menjadi pelayanmu dan telah mengurusmu bertahun-tahun. Lantas manakah balas budi dan hak ibu yang harus engkau tunaikan? Sekeras itukah hatimu? Apakah hari-hari sibukmu telah menyita seluruh waktumu?

Wahai Anakku!
Ibu merasakan kebahagiaan dan kegembiraan bertambah saat melihatmu hidup bahagia, karena engkau adalah buah hati ibu. Apa salah ibu sehingga engkau memusuhi ibu, tak suka melihat ibu, dan engkau merasa berat untuk mengunjungi ibu? Apakah ibu pernah berbuat salah padamu atau pelayanan ibu kurang memuaskanmu?

Jadikanlah ibu seperti pelayan-pelayanmu yang engkau beri upah. Curahkanlah setitik kasih sayangmu. Renungkanlah jasa ibu dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah amat menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Wahai Anakku!
Ibu sangat berharap bisa bersua denganmu. Ibu tak ingin apapun selain itu. Biarkanlah ibu melihat muramnya wajahmu dan episode-episode kemarahanmu.

Wahai Anakku!
Sisakan peluang di hatimu untuk berlembut-lembut dengan seorang wanita renta, yang diliputi kerinduan dan dirundung kesedihan ini. Yang menjadikan kedukaan sebagai makanannya dan kesedihan sebagai selimutnya. Engkau cucurkan air matanya. Engkau membuat sedih hatinya dan engkau memutuskan hubungan dengannya.

Ibu tidak mengeluhkan kepedihan dan kesedihan ibu kehadirat-Nya, karena jika ibu adukan perkara ini ke atas awan dan ke pintu gerbang langit sana, ibu khawatir hukuman akan menimpamu, dan musibah akan terjadi dalam rumah tanggamu, lantaran kedurhakaanmu. Karena ibu teringat peringatan junjungan kita Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

"Maukah kalian aku sampaikan tentang dosa yang terbesar?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengucapkannya tiga kali. Para sahabat menjawab, "Ya, wahai Rasulullah". Beliau bersabda, "Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua." (HR. Bukhari).

"Tidak masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya." (HR. Ahmad).

"Tiga golongan orang yang tidak akan dilihat (dengan pandangan rahmat) oleh Allah pada hari kiamat; orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, orang yang suka minum minuman keras, orang yang suka mengungkit pemberiannya." (HR. Nasaai dan dinyatakan shahih oleh Albani).

ãóáúÚõæúäñ ãóäú ÚóÞøó æóÇáöÏóíúåö


"Terlaknat orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya." (HR. Hakim dan Thobrani serta dinyatakan shahih oleh Albani dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib, 2/334).

Tidak, ibu tidak menginginkan itu. Engkau tetap menjadi buah hati dan hiasan dunia ibu.

Camkanlah wahai Anakku!
Ketuaan mulai nampak dalam belahan rambutmu. Tahun demi tahun akan berlalu, dan engkau akan menjadi tua renta, sedangkan setiap perbuatan pasti akan dibalas setimpal. Engkau akan menulis surat kepada setiap anak-anakmu dengan cucuran air mata, sebagaimana yang ibu tulis untukmu. Dan di sisi Allah, akan bertemu orang-orang yang berselisih, hai Anakku. Maka bertakwalah engkau kepada Allah terhadap ibumu. Usaplah air matanya dan hiburlah agar kesedihannya sirna.

Robek-robeklah surat ini setelah engkau membacanya. Namun ketahuilah, siapa saja yang beramal shaleh, maka keshalehan itu buat dirinya sendiri, dan siapa yang berbuat jahat, maka balasan buruk bakal menimpanya.

"Barangsiapa mengerjakan kebajikan, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa berbuat jahat, maka (dosanya) menjadi tanggungannya sendiri. Dan Rabbmu sekali-kali tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya." (QS. Fushshilat: 46).

Bahan rujukan: Qashash Mu'atstsirah fi Birr wa 'Uquqil Walidain (terjemahan) karya Fathurrahman Muhammad Jamil, dan lain-lain. (Al Fikrah)

(CP/Asseifff)

Menjadi Ibu Rumah Tangga, Mengapa harus Malu??


Ah,…Cuma ibu rumah tangga aja kok!” dengan malu-malu dan tersipu seorang akhwat menjawab pertanyaan kawannya tentang aktifitas apa yang di gelutinya sekarang. Sedangkan di kalangan ikhwan yang pernah penulis temui, ada diantara mereka yang malu untuk menjawab profesi istrinya bila istrinya bukan seorang dokter, insinyur, guru, atau profesi terhormat lainnya. Maka jawaban yang muncul adalah:

”biasa di rumah saja, mengurus anak-anak, Cuma ibu RT aja,… ga ada aktifitas lainnya!”

Duh, sebegitu hinakah profesi ini?

Padahal ketika penulis berinteraksi dengan wanita barat sewaktu di negeri Kanguru diantara mereka ada yang menjawab,

“Wow, profesi yang hebat tidak semua wanita mau menekuninya, I can’t do that!”

Ya,.. karena mereka melihat betapa sulitnya untuk menjadi istri sekaligus ibu yang baik bagi anak-anak. Saking beratnya, mereka memilih memasukkan anak-anak mereka di child care. Anda akan melihat dengan mata kepala sendiri panjangnya daftar antrian para orangtua yang ingin memasukkan anak-anak mereka ke tempat penitipan anak (childcare). Anda harus menunggu minimal selama 6 bulan sebelum nama anak anda di panggil.1 Rata-rata mereka memilih bekerja daripada mengasuh anak dirumah.

Suatu fakta yang tidak bisa di pungkiri bahwa para ibu dikalangan wanita barat memilih “melarikan diri” dari tugas dan tanggungjawabnya sebagai ibu dengan bekerja. Mereka bilang kepada penulis lebih mudah bekerja daripada tinggal dirumah mengasuh anak.Mengasuh anak membuatku stress! Itu yang penulis dengar. Bukankah itu suatu bukti bahwa mengurus anak-anak adalah suatu pekerjaan dan tanggung jawab yang berat? Lalu dimana penghargaan masyarakat kita terhadap ibu? Terlebih suami?

Itu baru dilihat dari satu sisi saja,…tidakkah anda melihat bahwa seorang istri atau ibu dirumah tidak pernah berhenti dari tugasnya?.Jika para suami mempunyai jam kerja yang terbatas antara 8-10 jam misalnya maka sesungguhnya seorang ibu rumah tangga mempunyai jam kerja yang lebih panjang yaitu selama 24 jam. Ia harus standby (selalu siap) kapan saja diperlukan. Bila diantara anggota keluarga ada yang sakit, siapakah yang bergerak terlebih dahulu? Bukankan seorang ibu/istri adalah dokter pribadi sekaligus perawat (suster) bagi suami dan anak-anaknya? Karena beliaulah yang akan berusaha meringankan beban sakit “sang pasien” dirumah sebelum di bawa kerumah sakit (yang sebenarnya) apabila ternyata sang ibu tidak sanggup mengobatinya. Pernahkah anda memikirkan berapa jumlah uang yang harus anda keluarkan untuk membayar seorang dokter dan perawat pribadi dirumah anda?

Bukankah seorang ibu juga seorang psikolog? Karena tentu anda melihat sendiri kenyataan ketika datang anak-anak mengeluh dan mengadu atas kesusahan atau penderitaan yang mereka alami maka sang ibu berusaha mencari jalan keluar dengan saran, nasehat dan belaian kasih sayang. Begitupula suami ketika merasa resah dan gelisah bukankah istri menjadi tempat curahan? Tak jarang para istri membantu suami meringankan dan memberi jalan keluar terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Penulis lihat sendiri betapa mahalnya bayaran seorang psikolog di Australia ada diantara mereka yang harus membayar $100 perjam dan tentu saja tidak ada jaminan mereka bisa membantu menyelesaikan masalah yang sedang anda hadapi.

Bukankan seorang istri/ibu dituntut untuk pandai memasak? Pernahkah anda membayangkan wahai para suami, anda memiliki juru masak dirumah yang selalu siap anda perintah kapan saja anda mau. Anda memiliki juru masak pribadi dirumah, ketika anda pulang ke rumah maka hidangan lezat tersedia bagimu dan juga untuk anak-anakmu. Pernahkah anda membayangkan berapa juta uang yang harus anda keluarkan untuk mengundang juru masak pribadi datang kerumah anda?

Masih banyak sisi lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Anda tentu pernah membaca syair Arab yang sangat terkenal yang berbunyi:

”Al-Ummu madrasatun idza a’dadtaha ‘adadta sya’ban tayyibul ‘araq” maknanya “seorang ibu adalah sebuah sekolah. Jika engkau persiapkan dia dengan baik maka sungguh engkau telah mempersiapkan sebuah generasi yang unggul”.

Ditangan ibulah masa depan generasi sebuah bangsa.Karena itulah islam sangat menghormati dan menghargai profesi ini. Kenyataan yang tidak bisa di pungkiri bahwa kedudukan ibu tiga kali lebih tinggi dibandingkan sang ayah.2

Karena Islam melihat tanggung jawab yang berat yang di emban seorang ibu, itu menandakan bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga adalah profesi yang mulia dan sangat terhormat. Lalu mengapa kita masih malu ya ukhti?? Ayo,..angkatlah wajahmu dan katakan dengan bangga bahwa aku adalah seorang “ibu rumah tangga!!” sebuah profesi yang sangat berat dan tentu saja pahala yang sangat besar Allah sediakan untukmu. Al-jaza’u min jinsil amal artinya balasan tergantung dari amal/perbuatan yang ia lakukan.Semakin berat atau sulit sebuah amal dilakukan seorang hamba maka pahala yang akan didapatinya pun semakin besar. Wallahu a’lam bisshawwab.